Kebencian dan Kekerasan
KEKERASAN DAN KEBENCIAN
Tepat di depan pagar sebuah katedral di bilangan makassar, seorang pria paruh baya nampak sedang dibasuhi bubuk kopi oleh seorang pemuda. Disekujur tubuh lelaki itu terdapat bercak darah sebagai dampak ledakan bom yang terjadi sesat sebelum misa gereja dimulai.
Ketika video itu diambil, ia sepertinya masih menahan sakit sembari menjawab lontaran pertanyaan dari seorang warga yang menanyakan bagaimana peristiwa itu terjadi.
“Bapak tadi posisi dimana?” tanya wanita tersebut.
“Saya tadi didepan pagar besar, saya tahan dia” jawabnya sambil dengan wajah setengah meringise
Misa hari minggu yang sedianya dilaksanakan dengan hikmad, berubah menjadi histeria. Teriakan akibat ledakan bom itu membuat Jemaat katedral berhamburan kepanikan.
Saat ini polisi dan tim labfor masih menyisir daerah tersebut mencari jejak dan bukti-bukti yang diperlukan, dan sementara ini menympulkan bahwa itu adalah tindakan bom bunuh diri.
Peristiwa semacam ini bukan yang pertama kali terjadi, terorisme terutama menyerang gereja sudah kerap kali terjadi di Indonesia, tentu kita masih ingat teror gereja di Surabaya dan beberapa kota lain di negeri ini
Lalu apa yang menjadi motif pelaku, seorang pengamat intelejen dalam sebuah artikel mengatakan bahwa ini adalah upaya balas dendam kepada kepolisian, karena memang beberapa waktu terakhir polisi sedang gencar-gencarnya menghabis terorisme.
Kekerasan
Saya tak ingin mengitu logika dari pengamat intelejen tersebut, saya ingin masuk lebih dalam pada akar kekerasan yang telah merendahkan martabat manusia.
Erich fromm seorang filsuf Jerman dalam (The anatomy of human destructiveness, 1973) membahas kajian psikologi tentang kekerasan secara detail dan mendalam melalu perspektif yang belum pernah dipaparkan sebelumnya Menurut form, kekerasan yang didalakukan manusia sangat terkait dengan faktor eksistensialitas. Baginya kekerasan tidak hanya mutlak dilandasi oleh faktor instingtif, namun lebih dari itu factor eksistensi turut mempengaruhi munculnya kekerasan. Yaitu ketika terhambatnya upaya manusia untuk berkembang kearah positih maka upaya alternatif yang dilakukan manusia melalui kekerasan,
Bagi Formm, kekerasan bukan sesuatu yang melekat dalam diri manusia sebagai fitrahnya, tapi lebih kepada kondisi dan situasi yang menghambat manusia tumbuh secara baik, keterhambatan itu membuat manusia berfikir secara tidak rasional sehingga mampu melakukan kekerasan.
Sejauh Formm memandang, kekerasan adalah terkait dengan manusai sebagai indvidu yang terkait dengan faktor psikologis dan manusia sebagai anggota masyarakat yang terhubung dengan faktor sosiologis dan politk, kekerasan bisa terjadi atas nama agama atau negara, bisa juga dengan sebab identitas etnis maupun rasial. Atau juga antar kelompok dengan paham ideologi politik yang berbeda.
Kebencian
Lalu apa itu kebencian? Dan mengapa kebencian terjadi? Jawabanya adalah karena adanya perbedaan, entah perbedaan, Ras, Nasionalisme, Daerah dan agama. Bahkan kalau kita mau rinci lebih detail lagi, kebencian itu terjadi bahkan pada level yang lebih kecil ; perbedaan pandangan, gaya hidup, selera, dan banyak hal yang lainnya, yang menjadikan kita suka atau tidak suka pada sesuatu, dan akan mengarah pada sikap benci.
Perbedaan jika tidak dimenage dengan baik akan menjadi konflik, konflik hadir dengan berbagai wajah, bisa konflik ekonomi, politik, budaya dan bahkan agama.
Karena kita secara fitrawi dilahirkan ke muka bumi dengan beragam, tidak dengan satu cetakan, maka perbedaan itu menjadi niscaya.
Kalau pada dasar negara kita, hal itu sangat jelas terpapang di bawah burung garuda, Bhineka Tunggal Ika, nah, yang masalah adalah jika ada kelompok yang memaksakan kehendak untuk menghomogenkan hal yang heterogen, maka menurut saya hal tersebut akan menjadi proyek yang paling sulit di wujudkan di bumi ini.
Karena itu tadi, sekali lagi saya katakan kita lahir sudah berbeda, maka hormatilah perbedaan itu, maka muncullah kemudian yang disebut konsep toleransi.
Apa itu toleransi?
Toleransi adalah ambang batas seseorang dalam menyikapi perbedaan, Sebagian orang akan mudah dan Sebagian yang lain mungkin akan cukup sulit.
Karena apa? Karena rasa jijik (disguisted) yang juga beda-beda untuk setiap orang, rasa jijik pada bau, pada visual, pada rasa, dan berbagai hal-hal yang ditangkap oleh indra dan termanifes dalam kesadaran (ide).
Toleransi di bangsa kita bahkan jauh sebelum Pancasila di temukan, kalau menurut Gusdur kita sudah berpancasila sudah sedari abad ke 7.
Apa lagi kalau bicara tentang Indonesia, negara dengan banyak suku, agama bahkan ras. Juga secara geografis bangsa Indonesia adalah bangsa yang berada pada lintas perairan dunia, sehingga secara potensial menjadi tempat yang didatangi manusia dari seluruh penjuru dunia.
Makanya sikap toleransi di Indonesia bukan lagi penting tapi niscaya, karena kalau masing-masing dengan pandangannya maka tentu saja konflik tak terelakkan.
Oleh; Muh.Rudi
Alumni universitas cokrominoto